Niat Puasa Ramadhan Wajib dalam Hati, tidak Sah Hanya Diucapkan Saja
Ulama bersepakat bahwa niat terletak di dalam hati dan tidak wajib dilafalkan. Namun melafalkannya dianjurkan atau disunnahkan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dan dinukil oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’:
“Semua sepakat bahwa tempat niat itu adalah hati dan tidak disyaratkan pengucapannya secara lisan. Tak cukup niat hati, namun disunnahkan untuk melafalkan (dengan lidah) bersamaan dengan niat di hati.” (Imam Nawawi, al-Majmu’, Riyadh, Dârul ‘Âlamil Kutub, juz 6, halaman 248)
Dalam Bughyah hal.143 disebutkan :
"• Hakikat niat : menyengaja sesuatu bersamaan (mulai) mengerjakannya.
• Letak niat : dalam hati
• Hukum niat : Wajib
• Tujuan niat : Untuk membedakan ibadah dan kebiasaan seperti duduk untuk I’tikaf dan duduk untuk istirahat atau untuk membedakan derajat ibadah seperti antara ibadah wajib dan sunah
• Syarat niat : Islamnya pelaku, tamyiz, mengerti yang ia niati, tidak mendatangkan sesuatu yang menafikannya, tidak menggantungkannya seperti dengan perkataan Insya Allah
• Waktu niat : Dipermulaan ibadah kecuali dalam hal puasa
• Cara niat : Berbeda-beda melihat bentuk ibadah yang ia niati "
Dalam kitab I’anatut Thalibin pada bab Puasa juga telah dijelaskan bahwa niat itu harus di hati, sedangkan mengucapkannya adalah sunnah atau dianjurkan:
“Niat itu dengan hati, dan tidak disyaratkan mengucapkannya, karena mengucapkan niat itu disunnahkan/dianjurkan.” (Sayid Bakri, I’anatut Thalibin, Surabaya, Hidayah, halaman 221)
Kadang di masyarakat masih terjadi perbedaan pendapat antara mereka yang sudah membiasakan diri talaffudh (melafalkan) niat dan mereka yang menghindari praktik tersebut. Perbedaan paham adalah hal yang lumrah dan terjadi sejak lama. Hanya saja, masing-masing harus tahu porsi masing-masing.
Bagi masyarakat yang terbiasa melafalkan niat, jangan sampai menjadikan lafal niat itu seakan-akan bagian dari rukun, padahal tidak ada ulama yang mewajibkannya. Jangan menilai bahwa tidak sah ibadah yang tidak melafalkan niat.
Fakta kondisi masyarakat di lapangan kadang unik. Ada sebagian di antara mereka yang belum mengerjakan ibadah tertentu dengan alasan belum bisa/belum hafal lafal niatnya. Atau bahkan ada sebagian jamaah meragukan keabsahan shalat imam masjid hanya karena mereka tidak mendengar imam melafalkan niat shalat lewat mikrofon kecil yang menempel di dada imam. Yang demikian agak berlebihan, karena niat hanya disyaratkan di dalam hati.
Demikian juga bagi mereka yang memakruhkan pun harus bersikap proporsional. Sebab, bagaimanapun melafalkan niat tidak mengurangi sedikitpun nilai yang ada di dalam hati. Talaffudh niat juga bermanfaat setidaknya bagi mereka yang kadang dihinggapi keraguan apakah sudah berniat atau belum—mereka baru mantap ketika niat dalam hati disertai dengan melafalkannya secara lisan. Itulah mengapa sering kita dengar pelafalan niat puasa, misalnya tiap selepas tarawih, oleh umat Islam di Tanah Air.
Lantas, bagaimana asal usul susunan lafal niat puasa yang akrab kita dengarkan sekarang?
Dalam mazhab Syafi’i, niat tak hanya menyengaja melakukan sesuatu (qashdul fi’li), tapi juga mesti disertai kejelasan jenis ibadah secara spesifik (ta”yîn), serta ketegasan status kefardhuannya (fardliyyah) bila ibadah itu memang fardhu. Praktik niat puasa adalah pada malam hari hingga terbit fajar, dan disunnahkan melafalkannya.
Untuk itu ulama Syafi’iyah menawarkan susunan redaksi niat yang sesuai dengan tata cara berniat tersebut. Disusunlah sebuah lafal niat yang kemudian sering kita dengar hingga kini di masjid-masjid atau madrasah-madrasah di Indonesia yang mayoritas pendudukanya bermazhab Syafi’i.
Imam An-Nawawi, misalnya, menuliskan bahwa:
“Bentuk niat yang sempurna adalah dengan sengaja hati bermaksud berpuasa esok hari untuk menunaikan ibadah fardhu di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah ta'ala”. (Imam Nawawi, al-Majmu’, Riyadh, Dârul ‘Âlamil Kutub, juz 6, halaman 253)
Dari sini hadirlah redaksi lafal niat puasa yang sering diucapkan:
“Aku sengaja berpuasa esok hari untuk menunaikan ibadah fardhu di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta'ala”.
Tradisi melafalkan niat puasa Ramadhan itu tidak lepas dari pedoman niat dalam pandangan mazhab Imam Syafi’i sebagaimana penjelasan singkat di atas. Mengapa dilaksanakan secara bersama-sama dan usai shalat tarawih?
Hal ini tak lepas dari kearifan para ulama Nusantara untuk bersikap hati-hati dari lupa melaksanakan salah satu rukun puasa tersebut. Manusia adalah tempatnya lupa, sementara keabsahan puasa Ramadhan pertama-tama dinilai dari niatnya. Tentu yang demikian tanpa mengabaikan keyakinan bahwa walaupun tidak diucapkan setelah shalat tarawih atau bahkan tidak diucapkan sama sekali—yang penting dari sejak malam dan sebelum subuh hati kita sudah berniat untuk berpuasa—puasa sudah sah.
Semoga Allah menerima amal ibadah puasa kita, dan semoga Allah menganugerahkan ketakwaan kepada kita semua. Aamin. Wallahu A’lam.
ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف، ولا يكفي عن نية القلب ولكن يستحب التلفظ مع القلب
“Semua sepakat bahwa tempat niat itu adalah hati dan tidak disyaratkan pengucapannya secara lisan. Tak cukup niat hati, namun disunnahkan untuk melafalkan (dengan lidah) bersamaan dengan niat di hati.” (Imam Nawawi, al-Majmu’, Riyadh, Dârul ‘Âlamil Kutub, juz 6, halaman 248)
Dalam Bughyah hal.143 disebutkan :
فحقيقتها قصد الشيء مقترناً بفعله ، ومحلها القلب ، وحكمها الوجوب ، ومقصودها تمييز العبادة عن العادة ، كالجلوس... للاعتكاف تارة وللاستراحة أخرى ، أو تمييز رتبها كالفرض عن النفل ، وشرطها إسلام الناوي وتمييزه وعلمه بالمنويّ ، وعدم الإتيان بمنافيها ، وعدم تعليقها كإن شاء الله إلا إن قصد التبرك ، وزمنها أي وقتها أول العبادات إلا الصوم ، وكيفيتها تختلف بحسب الأبواب اهـ ش ق.
"• Hakikat niat : menyengaja sesuatu bersamaan (mulai) mengerjakannya.
• Letak niat : dalam hati
• Hukum niat : Wajib
• Tujuan niat : Untuk membedakan ibadah dan kebiasaan seperti duduk untuk I’tikaf dan duduk untuk istirahat atau untuk membedakan derajat ibadah seperti antara ibadah wajib dan sunah
• Syarat niat : Islamnya pelaku, tamyiz, mengerti yang ia niati, tidak mendatangkan sesuatu yang menafikannya, tidak menggantungkannya seperti dengan perkataan Insya Allah
• Waktu niat : Dipermulaan ibadah kecuali dalam hal puasa
• Cara niat : Berbeda-beda melihat bentuk ibadah yang ia niati "
Dalam kitab I’anatut Thalibin pada bab Puasa juga telah dijelaskan bahwa niat itu harus di hati, sedangkan mengucapkannya adalah sunnah atau dianjurkan:
النيات با لقلب ولا يشترط التلفظ بها بل يندب...
“Niat itu dengan hati, dan tidak disyaratkan mengucapkannya, karena mengucapkan niat itu disunnahkan/dianjurkan.” (Sayid Bakri, I’anatut Thalibin, Surabaya, Hidayah, halaman 221)
Kadang di masyarakat masih terjadi perbedaan pendapat antara mereka yang sudah membiasakan diri talaffudh (melafalkan) niat dan mereka yang menghindari praktik tersebut. Perbedaan paham adalah hal yang lumrah dan terjadi sejak lama. Hanya saja, masing-masing harus tahu porsi masing-masing.
Bagi masyarakat yang terbiasa melafalkan niat, jangan sampai menjadikan lafal niat itu seakan-akan bagian dari rukun, padahal tidak ada ulama yang mewajibkannya. Jangan menilai bahwa tidak sah ibadah yang tidak melafalkan niat.
Fakta kondisi masyarakat di lapangan kadang unik. Ada sebagian di antara mereka yang belum mengerjakan ibadah tertentu dengan alasan belum bisa/belum hafal lafal niatnya. Atau bahkan ada sebagian jamaah meragukan keabsahan shalat imam masjid hanya karena mereka tidak mendengar imam melafalkan niat shalat lewat mikrofon kecil yang menempel di dada imam. Yang demikian agak berlebihan, karena niat hanya disyaratkan di dalam hati.
Demikian juga bagi mereka yang memakruhkan pun harus bersikap proporsional. Sebab, bagaimanapun melafalkan niat tidak mengurangi sedikitpun nilai yang ada di dalam hati. Talaffudh niat juga bermanfaat setidaknya bagi mereka yang kadang dihinggapi keraguan apakah sudah berniat atau belum—mereka baru mantap ketika niat dalam hati disertai dengan melafalkannya secara lisan. Itulah mengapa sering kita dengar pelafalan niat puasa, misalnya tiap selepas tarawih, oleh umat Islam di Tanah Air.
Lantas, bagaimana asal usul susunan lafal niat puasa yang akrab kita dengarkan sekarang?
Dalam mazhab Syafi’i, niat tak hanya menyengaja melakukan sesuatu (qashdul fi’li), tapi juga mesti disertai kejelasan jenis ibadah secara spesifik (ta”yîn), serta ketegasan status kefardhuannya (fardliyyah) bila ibadah itu memang fardhu. Praktik niat puasa adalah pada malam hari hingga terbit fajar, dan disunnahkan melafalkannya.
Untuk itu ulama Syafi’iyah menawarkan susunan redaksi niat yang sesuai dengan tata cara berniat tersebut. Disusunlah sebuah lafal niat yang kemudian sering kita dengar hingga kini di masjid-masjid atau madrasah-madrasah di Indonesia yang mayoritas pendudukanya bermazhab Syafi’i.
Imam An-Nawawi, misalnya, menuliskan bahwa:
صِفَةُ النِّيَّةِ الْكَامِلَةِ الْمُجْزِئَةِ بِلَا خِلَافٍ أَنْ يَقْصِدَ بِقَلْبِهِ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
“Bentuk niat yang sempurna adalah dengan sengaja hati bermaksud berpuasa esok hari untuk menunaikan ibadah fardhu di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah ta'ala”. (Imam Nawawi, al-Majmu’, Riyadh, Dârul ‘Âlamil Kutub, juz 6, halaman 253)
Dari sini hadirlah redaksi lafal niat puasa yang sering diucapkan:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لله تَعَالىَ
“Aku sengaja berpuasa esok hari untuk menunaikan ibadah fardhu di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta'ala”.
Tradisi melafalkan niat puasa Ramadhan itu tidak lepas dari pedoman niat dalam pandangan mazhab Imam Syafi’i sebagaimana penjelasan singkat di atas. Mengapa dilaksanakan secara bersama-sama dan usai shalat tarawih?
Hal ini tak lepas dari kearifan para ulama Nusantara untuk bersikap hati-hati dari lupa melaksanakan salah satu rukun puasa tersebut. Manusia adalah tempatnya lupa, sementara keabsahan puasa Ramadhan pertama-tama dinilai dari niatnya. Tentu yang demikian tanpa mengabaikan keyakinan bahwa walaupun tidak diucapkan setelah shalat tarawih atau bahkan tidak diucapkan sama sekali—yang penting dari sejak malam dan sebelum subuh hati kita sudah berniat untuk berpuasa—puasa sudah sah.
Semoga Allah menerima amal ibadah puasa kita, dan semoga Allah menganugerahkan ketakwaan kepada kita semua. Aamin. Wallahu A’lam.