Jejak Pendekatan Kemanusiaan Gus Dur dalam Penyelesaian Konflik Aceh
“Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah seorang presiden yang humanis. Ia mendahulukan pendekatan kemanusiaan untuk menyelesaikan sejumlah konflik, termasuk konflik di Aceh. Dia merupakan tokoh penting dalam penyelesaian konflik yang telah lama berlangsung di Aceh. Saya beruntung waktu itu ditunjuk sebagai ketua tim negosiator dalam menyelesaikan konflik di Aceh”.
Kalimat itu dikemukakan Hasan Wirajuda saat menyampaikan sebuah mata kuliah bertajuk “The role of leadership in conflict resolution, negotiation and mediation” di kampus School of Government and Public Policy, Sentul Bogor, Selasa, (7/5).
Dia menyontohkan bagaimana pentingnya faktor kepemimpinan dalam melihat sebuah sengketa secara jeli sehingga dapat menemukan jalan keluar yang bisa diambil oleh dua kelompok yang sedang berseberangan. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur saat itu mengubah banyak hal. Cara yang diterapkan Gus Dur untuk menghadapi kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sangat berbeda dengan pemerintah sebelumnya yang memilih pendekatan militeristik.
Perubahan itu nyatanya membuahkan hasil. Konflik yang telah terjadi sejak tahun 1976 sejak kepemimpinan Suharto perlahan mencair setelah 23 tahun di era Gus Dur pada tahun 1999 saat Gus Dur menjabat presiden. Gus Dur berhasil menawarkan jalan keluar yang baik untuk kedua belah pihak.
“Cara dialog yang ditawarkan Gus Dur bukan tanpa halangan. Penolakan datang dari mana-mana termasuk dari militer kita sendiri waktu itu,” lanjut Hasan. Sikap itu dari sisi yang lain juga bisa dipahami mengingat militer tidak ditugaskan untuk melakukan tugas-tugas negosiasi, namun lebih kepada menjaga teritori dengan cara yang milieristik, dengan cara lebih kasar.
Hari-hari saat penyelesaian konflik Aceh tak akan pernah dilupakan oleh mantan menteri luar negeri era Megawati ini. Ia terlibat secara langsung di garda paling depan setelah ditunjuk Gus Dur sebagai kepala tim negosiator untuk menyelesaikan konflik tersebut. Tak mudah menyelesaikan konflik yang sudah terjadi puluhan tahun.
Rekam jejak serupa juga pernah dituangkan Teuku Kemal Fasya dalam sebuah tulisan berjudul Gus Dur dan Aceh yang pernah dipublikasikan Kompas, 30 Desember 2014. Dalam tulisannya Teuku merekam kehadiran Gus Dur di Aceh pada 17 September 1999, dalam rangka menyelesaikan konflik tersebut. Hari itu merupakan salah satu dari banyak kunjungan Gus Dur ke tanah rencong tersebur. Di sana, Gus Dur menemui semua kalangan mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, ulama, aktivis HAM, aktivis perempuan dan kelompok lain.
Dalam keadaan segenting itu Gus Dur ‘turun’ sendiri untuk menyelesaikan konflik, seolah tak takut akan keselamatannya masuk kawasan yang masih berkonflik. Dalam menggambarkan itu, Teuku menulis… “Dasar Gus Dur bukan seorang yang penakut dan traumatis, ia malah semakin intensif berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Sejak dilantik sebagai presiden, ia terus melakukan pendekatan menyelesaikan konflik secara nonmiliter. Berpuluh kelompok masyarakat Aceh bertemu dengannya, baik di Ciganjur, Istana Negara, Hotel Peninsula, atau di kediaman orang kepercayaan Gus Dur, H. Masnuh. Semua kalangan diterimanya: aktivis mahasiswa, aktivis perempuan, ulama, politikus, dan juga tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tanpa protokoler yang ketat. Pertemuan itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali!”.
Kebijakan menggunakan dialog sebagai cara menyelesaikan konflik dianggap anomali. Sebab selagi Gus Dur menawarkan dialog, baku tempur antara militer dan GAM di lapangan masih terjadi dan seolah merusak harapan perdamaian. Belum lagi adanya pertentangan dari parlemen. Meskipun upaya perdamaian yang kadung dilakukan gagal, Gus Dur tak patah arang, apalagi berbalik arah memilih pendekatan represif seperti pemerintah sebelumnya. Bahkan dalam sebuah pertemuan dengan kami kelompok aktivis mahasiswa pascakegagalan Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause) Gus Dur berucap, selama ia menjadi presidennya, adalah haram mengambil kebijakan operasi militer lagi untuk Aceh.
Secara umum, menurut paparan Hasan Wirajuda, ada beberapa tahapan penyelesaian koflik ini; yang pertama terjadi pada tahun 1999. Lalu dilanjutkan pada tahun 2001. Selanjutnya saat kepemimpinan presiden Megawati. Hingga puncaknya kesepakatan pada tahun 2004 saat kepemimpinan SBY. Proses sepanjang itu tak lain merupakan buah dari keberanian Gus Dur mengubah cara penyelesaian konflik dari cara militeristik menjadi cara yang lebih humanistik. (Ahmad Rozali/NU Online)
Kalimat itu dikemukakan Hasan Wirajuda saat menyampaikan sebuah mata kuliah bertajuk “The role of leadership in conflict resolution, negotiation and mediation” di kampus School of Government and Public Policy, Sentul Bogor, Selasa, (7/5).
Dia menyontohkan bagaimana pentingnya faktor kepemimpinan dalam melihat sebuah sengketa secara jeli sehingga dapat menemukan jalan keluar yang bisa diambil oleh dua kelompok yang sedang berseberangan. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur saat itu mengubah banyak hal. Cara yang diterapkan Gus Dur untuk menghadapi kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sangat berbeda dengan pemerintah sebelumnya yang memilih pendekatan militeristik.
Perubahan itu nyatanya membuahkan hasil. Konflik yang telah terjadi sejak tahun 1976 sejak kepemimpinan Suharto perlahan mencair setelah 23 tahun di era Gus Dur pada tahun 1999 saat Gus Dur menjabat presiden. Gus Dur berhasil menawarkan jalan keluar yang baik untuk kedua belah pihak.
“Cara dialog yang ditawarkan Gus Dur bukan tanpa halangan. Penolakan datang dari mana-mana termasuk dari militer kita sendiri waktu itu,” lanjut Hasan. Sikap itu dari sisi yang lain juga bisa dipahami mengingat militer tidak ditugaskan untuk melakukan tugas-tugas negosiasi, namun lebih kepada menjaga teritori dengan cara yang milieristik, dengan cara lebih kasar.
Hari-hari saat penyelesaian konflik Aceh tak akan pernah dilupakan oleh mantan menteri luar negeri era Megawati ini. Ia terlibat secara langsung di garda paling depan setelah ditunjuk Gus Dur sebagai kepala tim negosiator untuk menyelesaikan konflik tersebut. Tak mudah menyelesaikan konflik yang sudah terjadi puluhan tahun.
Rekam jejak serupa juga pernah dituangkan Teuku Kemal Fasya dalam sebuah tulisan berjudul Gus Dur dan Aceh yang pernah dipublikasikan Kompas, 30 Desember 2014. Dalam tulisannya Teuku merekam kehadiran Gus Dur di Aceh pada 17 September 1999, dalam rangka menyelesaikan konflik tersebut. Hari itu merupakan salah satu dari banyak kunjungan Gus Dur ke tanah rencong tersebur. Di sana, Gus Dur menemui semua kalangan mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, ulama, aktivis HAM, aktivis perempuan dan kelompok lain.
Dalam keadaan segenting itu Gus Dur ‘turun’ sendiri untuk menyelesaikan konflik, seolah tak takut akan keselamatannya masuk kawasan yang masih berkonflik. Dalam menggambarkan itu, Teuku menulis… “Dasar Gus Dur bukan seorang yang penakut dan traumatis, ia malah semakin intensif berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Sejak dilantik sebagai presiden, ia terus melakukan pendekatan menyelesaikan konflik secara nonmiliter. Berpuluh kelompok masyarakat Aceh bertemu dengannya, baik di Ciganjur, Istana Negara, Hotel Peninsula, atau di kediaman orang kepercayaan Gus Dur, H. Masnuh. Semua kalangan diterimanya: aktivis mahasiswa, aktivis perempuan, ulama, politikus, dan juga tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tanpa protokoler yang ketat. Pertemuan itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali!”.
Kebijakan menggunakan dialog sebagai cara menyelesaikan konflik dianggap anomali. Sebab selagi Gus Dur menawarkan dialog, baku tempur antara militer dan GAM di lapangan masih terjadi dan seolah merusak harapan perdamaian. Belum lagi adanya pertentangan dari parlemen. Meskipun upaya perdamaian yang kadung dilakukan gagal, Gus Dur tak patah arang, apalagi berbalik arah memilih pendekatan represif seperti pemerintah sebelumnya. Bahkan dalam sebuah pertemuan dengan kami kelompok aktivis mahasiswa pascakegagalan Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause) Gus Dur berucap, selama ia menjadi presidennya, adalah haram mengambil kebijakan operasi militer lagi untuk Aceh.
Secara umum, menurut paparan Hasan Wirajuda, ada beberapa tahapan penyelesaian koflik ini; yang pertama terjadi pada tahun 1999. Lalu dilanjutkan pada tahun 2001. Selanjutnya saat kepemimpinan presiden Megawati. Hingga puncaknya kesepakatan pada tahun 2004 saat kepemimpinan SBY. Proses sepanjang itu tak lain merupakan buah dari keberanian Gus Dur mengubah cara penyelesaian konflik dari cara militeristik menjadi cara yang lebih humanistik. (Ahmad Rozali/NU Online)