Teather: Monolog - Kasir Kita (Karya Arifin C Nur)
Monolog
Kasir Kita
Arifin C Noer
Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, alasannya tidak mengecewakan pula penghasilan si pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang tidak mengecewakan pula besarnya. Kasir kita itu berjulukan Misbach Jazuli
Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi. Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya, tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu menyerupai wajahnya.
Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya. Tapi tak berhasil.
Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya mengambarkan bahwa kelemahannya, maksud saya kelemahan dongeng ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya; ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.
Diletakkannya tasnya
Saya sangat susah sekali alasannya istri saya sangat anggun sekali. Kecantikannya itulah yang mengakibatkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara. Dia sangat anggun sekali. Sangat jarang Tuhan membuat wanita cantik. Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri tidak percaya bahwa beliau itu istri saya.
Saya berani sumpah! Dulu sebelum beliau menjadi istri saya tatkala saya bertemu pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya meyobek pendengaran kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin jika suatu ketika nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.
Buktinya? Meskipun pendengaran saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan Supraba selama lima tahun lebih.
Aduh cantiknya.
Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak percaya pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian utuhnya. Caaaaannnnttiiik.
Ah kata cantikpun tak sanggup pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah. Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti menentukan istri saya, biarpun saudara tahu bahwa beliau seorang janda.
Lesu.
Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak tiba dalam kepala, tak mungkin saya akan sebodoh itu menceraikan wanita aneh itu.
Semua orang yang waras akan meratapi perbuatan saya, kecuali para koruptor, alasannya mereka tak bisa lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini. Padahal harmoni ialah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, serasi dalam segala hal. Sempurna.
Menarik napas.
Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di suatu pagi. Segar, segar!
Telepon berdering.
Itu dia! Sebentar (ragu-ragu) Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya :”Sarapan apa kau, mas” Kemarin saya menjawab :”Nasi putih dengan goreng otak sapi”
Pagi ini saya akan menjawab .....
Mengangkat gagang telepon
Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo!
Meletakkan pesawat telepon
Salah sambung. Gilaa! Saya murka sekali. Penelpon itu tak tahu perasaan sama sekali.
Tiba-tiba
Oh ya! Jam berapa sekarang?
Gugup melihat arloji
Tepat! Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga perempat jam. Maaf saya harus ke kantor. Lain kali kita sambung dongeng ini atau datanglah ke kantor saya, PT Dwi Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana nama saya, kasir Jazuli. Maaf. Sampai ketemu.
Melangkah cepat. Sampai di pintu sebentar ia ragu. Tapi kemudian ia terus juga.
Agak lama, kasir kita masuk lagi dengan lesu.
Praktis mudahan perdagangan internasional dan perdagangan nasional tidak terganggu meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk kantor.
Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya punya talenta pemalas. Saudara bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya, perihal diri Misbah Jazuli.
Tentu pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik untuk menghormati kerajinan dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya, hari inilah hari pertama saya membolos semenjak enam tahun lebih saya bekerja di PT Dwi Warna.
Seperti saudara saksikan sendiri tubuh saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku! Ya, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor berhubung pertanggung tanggapan keuangan....
Telepon berdering.
Sekarang pasti dia!
Menuju pesawat telepon
Saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu menelpon saya.
Apa mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak tahulah saya. Saya sendiri pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya tak boleh menghina diri sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang mengakibatkan kejadian perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang salah. Sebab itu beliau yang selayaknya minta maaf pada saya. Ya, beliau harus minta maaf.
Toch saya pria berharga : saya punya penghasilan yang cukup.
Laki-laki simpel saja menarik wanita sekalipun sudah sepuluh kali beristri. Pandang wanita dengan pasti, air muka disegarkan dengan sedikit senyum, dan suatu ketika berpura-pura berpikir menimbang kecantikannya dan kemudian pandang lagi, dan pandang lagi, dan jangan sekali kali kasar, wajah lembut menyerupai waktu kita berdoa dan jika wanita itu menundukkan kepalanya berarti laso kita telah menjerat lehernya. Beres!
Nah, saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi beliau yang salah! Ingat, beliau yang salah. Nah, saudara tentu sudah tahu perihal sifat saya. Saya sombong menyerupai umumnya pria dan kesombongan saya mungkin juga lantaran sedikit rasa rendah diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu jelek?
Telepon berdering lagi.
Pasti isteri saya
Menarik napas panjang
Saya telah mencium amis bedaknya. Demikian wanginya sehingga saya yakin kulitnya yang mengakibatkan bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya saya katakan?
Tidak! Saya harus tahu harga diri. Kalau beliau ku maafkan pasti akan semakin kurang ajar. Saudara tahu? Mengapa semua ini bisa terjadi? Oh, kecantikan itu! Ah! Bangsat! Selama ini saya diusiknya dengan perasaan-perasaan yang gila. Bangsat!
Saudara tahu? Dia telah berafiliasi lagi dengan pacarnya ketika di SMA! Ya, memang saya tidak tahu benar, betul tidaknya prasangka itu. Tapi cobalah bayangkan betapa besar perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan saya pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati? Laki-laki itu ada di sini dan sedang tertawa-tawa. Dengar! Tertawa-tawa. Ya, Tuhan. Cemburuku mulai menyerang lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.
Telepon berdering lagi.
Pasti dia.
Mengangkat gagang telepon.
Misbach Jazuli di sini, hallo?
Segera menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.
Inilah ular yang menarik hati Adam dahulu. Perempuan itu menelepon dalam keadaan saya begini. Jahanam! (kasar) Ya, saya Jazuli, ada apa? Nanti dulu. Jangan dulu kamu menggunakan kata-kata cinta yang membuat kaki gemetar itu! Dengar dulu! Apa wanita biadap! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah mengakibatkan semuanya semakin awut-awutan dan membuat saya gelisah dan takut menyerupai buronan!
Meletakkan pesawat dengan marah.
Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor saya pakai berpoya-poya, apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke rumahnya. Gila!
Ya, saudara. Saya telah berafiliasi dengan seorang perempuan, beberapa hari setelah saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya tertipu. Uang saya ludes, uang kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur alasannya lumpur itu gres mengenai betis saya. Setengah bulan yang kemudian saya terjaga dari mimpi edan itu. Betapa saya terkejut, waktu menghitung beberapa juta uang kantor katut. Dan semenjak itulah saya ingat isteri saya. Dan saya mendengar tangis bawah umur saya. Tambahan lagi isteri saya selalu menelepon semenjak seminggu belakangan ini.
Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi kantor saya mengadakan stock opname. Inilah penderitaan itu.
Memandang potret di atas rak buku.
Sejak seminggu yang kemudian saya pegang lagi potret itu. Tuhan, apakah saya mesti menjadi penyair untuk mengutarakan sengsara tubuh dan sengsara jiwa ini?
Apabila bawah umur telah tidur semua, beliau duduk di sini di samping saya. Dia membuka-buka majalah dan saya membaca surat kabar. Pabila suatu ketika mata kami bertemu maka kami pun sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata lembut : “Manis, kamu belum mengantuk?” Wajahnya yang mentakjubkan itu menggeleng-geleng indah dan manis sekali. Dia berkata, juga dengan lembut : “Aku hanya menunggu kau, mas” Saya tersenyum dan saya berkata lagi : “Aku hanya membaca koran, manis” Dan kemudian ia berkata : “ Aku akan menunggui kamu membaca koran, mas” Kemudian kami pun sama-sama tersenyum bagai merpati jantan dan betina.
Kubelai rambutnya yang halus mulus itu. Duuh wanginya. Nyamannya. Lautan minyak wangi yang memingsankan dan membius sukma. Apabila beliau berkata seraya menengadah “Mas”. Maka segera kupadamkan lampu di sini dan lewat jendela beling kami menyaksikan pekarangan dengan bunga-bunga yang kabur, dan langit biru bening dimana purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak dari ranting keranting.
Tiba-tiba ganti nada.
Hah, saya gres saja telah menjadi penyair cengeng untuk mengenang semua itu. Tidak-tidak! Laki-laku itu ............, sebentar. Saya belum menelepon ke kantor bukan ? Sebentar.
Diangkatnya pesawat telepon itu ! memutar nomornya.
Hallo, minta 1237 utara. Hallo ! ....... Saudara Anief ... ? Kebetulan .... Ya, ya, mungkin pula influenza. (batuk-batuk-dan menyedot hidungnya) Yang pasti batuk dan pilek. Saudara....ya?....Ya, ya saudara Anief, saya akan merasa bahagia sekali jika saudara sudi memintakan pamit saya kepada pak Sukandar....Terima kasih...Ya? Apa? Saudara bertemu dengan isteri saya disebuah restoran?
Nada suaranya naik.
Apa? Dengan laki-laki? (menahan amarahnya) Tentu saja saya dihentikan marah, saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya...Hallo! Ya, jangan lupa pesan saya pada pak Sukandar.
batuk dan menyedot hidungnya lagi
Saya sakit. Ya, pilek. Terima kasih.
Meletakan pesawat telepon.
Seharusnya saya tak boleh marah. Bukankah beliau bukan isteri saya lagi? Ah, persetan : pokoknya saya marah! Persetan : cemburuan kumat lagi? Ah, persetan! Saudara bisa menduga apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara tahu apa yang ingin saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang, saudara. Ya, benar-benar saya butuh pistol, saudara. Pistol. Saya akan bunuh mereka sekaligus. Kepala mereka cukup besar untuk menjaga semoga peluru saya tidak meleset dari pelipisnya.
Nafasnya sudah kacau.
Kalau mayat-mayat itu sudah tergeletak di lantai, apakah saudara pikir saya akan membidikkan pistol itu ke kening saya? Oh, tidak! Dunia dan hidup tidak selebar daun kelor, saudara! Sebagai orang yang jujur dan jangan lupa saya ialah seorang ksatria dan sportif, maka tentu saja secara jantan saya akan menghadap dan menyerahkan diri pada pos polisi yang terdekat dan berkata dengan besar hati dan herooik : “Pak saya telah menembak Pronocitra dan Roro Mendut.”
Tentu polisi itu akan tersenyum. Dan kagum campur haru. Dan bukan mustahil ia akan memberi saya segelas teh. Dan gres setelah itu membawa saya ke dalam sebuah sel yang pengap.
Hari selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa. Lalu diadili. Ya, diadili. Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada hakim? Kepada hakim, kepada jaksa, kepada panitera dan kepada seluruh hadirin akan saya katakan bahwa mereka pengganggu masyarakat maka sudah sepatutnya dikirim ke neraka jahanam. Bukankah bumi ini bumi Indonesia yang ketentramannya harus dijaga oleh setiap warganya?
Saudara pasti tahu menyerupai saya pun tahu hakim yang botak itu akan berkata seraya menjatuhkan palunya : “Seumur hidup di Nusa Kambangan!”
Pikir saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu? Ooo, tidak saudara. Saya akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu daripada Hakim yang botak dan berkaca mata itu.
Lagi pula saya sudah siap untuk dibawa ke Nusa Kambangan. Di pulau itu saya hanya akan membutuhkan beberapa rim kertas dan pulpen. Ya, saudara. Saya akan menjadi pengarang. Saya akan menulis riwayat hidup saya dan proses pembunuhan itu yang sebenarnya, sehingga dunia akan sama membacanya. Saya yakin dunia akan mengerti letak soal yang sejati. Dunia akan menangis. Perempuan-perempuan akan meratap.
Dan seluruh warga bumi ini akan berkabung alasannya telah berbuat salah menghukum seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin hakim itu akan mengelus-elus botaknya dan akan mengucurkan air matanya alasannya menyesal dan pasti beliau akan membuang palunya ke luar. Itulah rancangan saya.
Saya sudah berketetapan hati. Saya sudah siap betul-betul sekarang. Siap dan nekad. Ooo, nanti dulu. Saya ingat sekarang. Saya belum punya pistol. Dimana saya bisa mendapatkannya? Inilah perasaan seorang pembunuh. Dendam dendam yang cukup padat menyerupai padatnya kertas petasan. Dahsyat letusannya. Saya ingat Sherlocks Holmes sekarang. Agatha Christi, Edgar Allan Poe. Sekarang saya insaf. Siapapun dihentikan mencibirkan segenap pembunuh. Sebab saya kini percaya ada aneka macam pembunuh di atas dunia ini. Dan yang ada di hadapan saudara, ini bukan pembunuh sembarang pembunuh. Jenis pembunuh ini ialah jenis pembunuh asmara.
Nah, saya telah mendapat judul karangan itu.
“Pembunuh Asmara” Lihatlah dunia telah berubah hanya dalam tempo beberapa anggukan kepala. Persetan! Dimana pistol itu sanggup saya beli? Apakah saya harus terbang dulu ke Amerika, ke Dallas? Tentu saja tidak mungkin. Sebab itu berarti memperlihatkan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk lehernya.
Oh, betapa murka saya. Darah menyerupai akan meledakan kepala saya. Betapa! Sampai-sampai saya ingin menyobek dada ini. Oh,...saya kini merasa erat dengan Othello. Saudara tentu kenal dia, bukan? Dia ialah tokoh pencemburu dalam sebuah drama Shakespeare yang terkenal.
Othello. Dia bangsa Moor sedang saya bangsa Indonesia, namun sengsara dan senasib akhir kejahilan cantiknya anak cucu Hawa.
Telepon berdering! Seperti seekor harimau ia!
Itu dia.
Mengangkat pesawat telepon dengan kasar.
Hallo!!! Ya, disini Jazuli !! Kasir !! Ada apa?
Tiba-tiba berubah.
Oh,...maaf pak. Pak Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya kira isteri saya. Saya gres saja marah-marah...Ya, ya memang saya...Ya, ya.
Tertawa.
Ya, pak...
Batuk-batuk. Menyedot hidungnya.
Influenza... Ya, mudah-mudahan..Ya, pak....Ya.
Saudara, dengarlah. Dia mengharap saya besok masuk kantor untuk pemberesan keuangan....Ya?..Insya Allah, pak..Ada pegawai baru?..Siapa, pak? Istri saya, pak?
Tertawa.
Ya, pak...
Batuk-batuk dan menyedot hidungnya.
Ya, pak. Terima kasih. Terima kasih, pak. Besok.
Meletakan pesawat telepon.
Persetan! Saya yakin istri saya pasti kehabisan uang sekarang. Apakah saya mesti mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya.
Seakan menusukkan pisau.
Singa betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja, pisau.
Telepon berdering.
Persetan! Sekarang pasti dia.
Mengangkat telepon.
Kasir disini! Kasir PT Dwi Warna! Apa lagi! Jahanam! Ular betina yang telah mengakibatkan saya koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulutmu! Mulutmu amis busuk! Aku bisa mati mendengar kata-katamu lewat telepon! Cari saja pria lain yang hidungnya besar. Penggoda bah! Cari yang lain! Toch kamu seorang petualang!
Meletakan pesawat telepon.
Jahanam! Apakah saya mesti membunuh tiga orang sekaligus dalam seketika? O, ya. Tadi saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup untuk menghentikan jantung mereka berdenyut. (geram). Sayang sekali. Pengarang sandiwara ini bukan seorang pembunuh sehingga hambarlah dongeng ini.
Tapi tak apa. Toch saya sudah cukup murka untuk membunuh mereka. Namun sebaiknya saya maki-maki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus meneleponnya!
Mengangkat telepon.
Kemana saya harus menelepon? Tidak! (meletakan telepon)
Lebih baik saya rancangkan dulu secara masak-masak semuanya sekarang. Demi Allah, saudara mesti mengerti perasaan saya. Bilanglah pada isteri saudara-saudara : “Manis, jagalah perasaan suamimu, supaya jangan bernasib menyerupai Jazuli.”
Ya, memang saya ialah pria yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur. Sayapun telah siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh dalam sandiwara ini.
Seperti mendengar telepon berdering.
Hallo? Jazuli disini. Jazuli (sadar)
Saya kira berdering telepon tadi. Nah, saudara bisa melihat keadaan saya sekarang. Mata saya betul-betul gelap. Telinga saya betul-betul pekak. Saya tidak bisa lagi membedakan telepon itu berdering atau tidak. Artinya sudah cukup masak mental saya sebagai seorang pembunuh.
Tapi seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaan dengan baik pula menyerupai halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya masuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separuh nyawa saya, pasti pria itu ada disana. Dalam cahaya bulan yang diterangi kabut : ..Saya bayangkan begitulah suasananya.
Bulan berkabut, udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi di pinggang dalam kemeja, saya ketok pintu serambinya.
Mereka pasti terkejut. Lebih-lebih mereka terkejut melihat pandangan mata saya yang dingin, pandangan mata seorang pembunuh.
Untuk beberapa ketika akan saya pandangi saja mereka sehingga tubuh mereka bergetaran dan seketika menjadi renta lantaran ketakutan. Dan sebelum pria itu sempat mengucapkan kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di usarnya. Dan pasti isteri saya menjerit, tapi sebelum jerit itu cukup sanggup memanggil tetangga-tetangga maka belati ini telah bersarang dalam perutnya. Tentu. Saya akan menarik nafas lega. Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai, saya akan berkata : “Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.”
Tiba-tiba pening di kepala.
Tapi jika sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Kalau mereka bertanya : “Pak, ibu kenapa pak? Pak, ibu pak?
Memukul-mukul kepalanya.
Tuhanku!
Duduk.
Dia terdiam sekarang. Dua orang anaknya, Ita dan Imam, 5 dan 4 tahun menari-nari disekelilingnya. Di ruang tengah itu dengan sebuah nyanyian kanak-kanak : Bungaku.
Saudara-saudara bisa mencicipi hal ini? Mereka sangat manisnya. Lihatlah. Saya tidak bisa lagi marah. Saya pun tak bisa lagi peduli pada apa saja selain kepada bawah umur yang manis itu. Saya tidak tahu lagi apakah isteri saya anggun apakah tidak. Saya tidak tahu lagi apakah pria itu jahanam apakah tidak.
Saya hanya tahu bawah umur itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi bagaimana mereka tertawa. Tak ada yang lain mutlak harus dipertahankan kecuali bawah umur itu. Saudara-saudara mengerti maksud saya? Apakah hanya lantaran cemburu saya mesti merusak kembang-kembang yang telah bermekaran itu?
Balerina-balerina kecil itu menari bagai malaikat-malaikat kecil.
Semangat hidup yang sejati dan keberanian yang sejati timbul dalam diri begitu saya ingat Ita dan Imam bawah umur saya. Seakan mereka berkata : “Pak susulah ibu, pak. Pak, ke kantorlah, pak.”
Ya, Ita. Ya, Imam.
Malaikat-malaikat kecil itu mistik berubah menjadi udara.
Saya harus pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya pada pak Sukandar. Saya akan mengganti uang itu setelah besok saya jual beberapa barang dalam rumah ini. Setelah semua beres saya akan mulai lagi hidup dengan hening dan tawakal kepada Tuhan. Hari ini hari Jumat, di masjid setelah sembahyang saya akan minta ampun kepada Allah.
Saya tak mau tahu lagi apakah pria Rahwana atau bukan. Saya tak mau tahu lagi apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tidak peduli. Tuhan ada dan pria yang macam itu dan wanita itu ada dalam hidup saya. Semuanya harus saya hadapi dengan arif, alasannya jika tidak Indonesia akan hancur berhubung saya menelantarkan bawah umur saya, Ita dan Imam.
Telepon berdering.
Jahanam! Kalau saudara mau percaya, inilah sundal itu. Setiap kali saya tengah berpikir begini, jahanam itu menelpon saya.
Telepon berdering lagi.
Jahanam! Inilah sundal itu setelah uang kantor ludes, apakah ia mengharap rumah ini dijual.
Mengangkat pesawat telepon.
Ya, Misbach Jazuli
Tersirap darahnya.
Saudara, jantung saya berdebar menyerupai kala duduk di bangku pengantin. Demi Tuhan, tak salah ini ialah bunyi istri saya. Oh saya telah mencium amis bedaknya. Hutan mawar dan hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin beliau pun sepikiran dengan saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama.
Hallo?..Tentu...Tentu. kenapa kamu tidak menelepon tadi? Ya...ke kantor, bukan? Memang saya agak flu dan batuk-batuk.
(akan batuk tapi urung) ...Ya, manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar, kulit-kulit kacang..ah, indah sekali bukan?...Tentu...Tentu...He...?...Bagaimana?....Kawin? Kau?...Segera?
Lihatlah, niat baik selamanya tidak simpel segera terwujud. Apa?...Apa? Ha??? Saudara, gila wanita itu. Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap semoga nanti sore saya tiba ke rumahnya untuk melihat apakah pria calon suaminya itu cocok atau tidak baginya. Gila. Hmm, rupanya pria yang dulu itu cuma iseng saja. Ya, tentu..bisa!
Meletakan pesawat dengan kasar.
Jahanam. Saudara tentu bisa mencicipi apa yang saya rasakan. Beginilah, jika pengarang sandiwara ini belum pernah mengalami kejadian ini. Beginilah jadinya. Saya sendiri pun jadi resah untuk mengakhiri dongeng ini.
(tiba-tiba) Persetan pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan semuanya! Yang penting saya akan ke kantor meski sudah siang. Dari kantor saya akan pribadi ke masjid. Dari masjid pribadi ke rumah mertua saya. Langsung saya boyong semuanya.
Anak-anak itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu. Selamat siang.
Melangkah seraya menyambar tasnya. Tiba-tiba berhenti. Setelah mengeluarkan sapu tangan, batuk-batuk dan menyedot hidungnya.
Saya influenza, bukan ?
SELESAI