Teather: Naskah Drama Panggung - Karya: Emil Santosa
NASKAH DRAMA PANGGUNG
Karya : Emil Sanosa: Sebuah markas gerilya, terlihat sebuah ruangan, satu pintu, satu jendela, meja tulis, dua buah dingklik panjang, peti mesiu, helm,ransel.
Suasana : Malam hari keadaan sepi, tegang. Jauh masih terdengar letusan tembakan diiringi musik sayup-sayup instrumental Gugur Bunga. Kemudian muncul Maryoso memegang
MARYOSO
Makara sudah terbukti beliau bersalah ?
SERSAN
Ya, pak !
MARYOSO
Tidak menurut kira-kira saja ?
SERSAN
Bukti-bukti sudah cukup menguatkan dan mereka menuntut sanksi sanggup dijalankan sebelum fajar.
MARYOSO
Menuntut ? Kau kira siapa yang berkuasa disini ?
SERSAN
Sudah terperinci Bapak ! Tapi mereka khawatir, alasannya …, alasannya si terhukum ialah ….
MARYOSO
( Cepat ) Adalah kawanku ? Anak dari seorang guru yang kuhormati.
SERSAN
Maaf Pak !
MARYOSO
( Mengeluh ) Mereka pikir apa saya ini. Mereka kira dalam hal ini saya masih memikirkan dia, anak dari seorang guru yang kuhormati. Kalau saya perlakukan beliau dengan baik, itulah haknya sebagai tawanan.
SERSAN
Maaf Pak, kerap kali terjadi.
MARYOSO
Ya, kerap kali terjadi orang tidak sanggup membedakan antara kiprah dan perasaan. Bawa beliau kemari ! ( Sersan masuk ).
Maryoso melangkah kemudian duduk, terdengar nyanyian dari dalam penjara, Maryoso marah.
MARYOSO
Heiii ….. ! Siapa itu yang masih meraung dini hari … ?!
SUARA
Siapa lagi bila bukan si Jaelani si Pemabuk itu ?
MARYOSO
Suruh beliau tidur !
SUARA
Justru tak sanggup tidur, beliau menyanyi Pak …
Maryoso terdiam. Sersan masuk membawa seorang tawanan, menghadap Maryoso. Sersan disuruh berlalu, Ahmad menunggu cemas.
MARYOSO
( Menyuruh duduk ) Ahmad, kau tidak apa –apa bukan ?
AHMAD
Mereka bilang, bila tidak karna kau, saya sudah dibantai. Terima kasih atas kebaikanmu Maryoso …
MARYOSO
Terima kasih itu tidak perlu …
AHMAD
Baiklah, apa yang hendak kau perbuat atas diriku, buatlah … !
MARYOSO
( kata-kata itu menyayat yang menghubungkan masa kemudian )
Yah … engkau tawananku …
AHMAD
Tembaklah saya supaya kau puas … !
MARYOSO
( Merasa sindiran yang tajam ). Itu kasus nanti … Tapi saya ingin mendengarkan dari mulutmu sendiri perihal semua itu.
AHMAD
Apa yang kau ingin dengarkan ?
MARYOSO
Dengan maksud apa kau meyusup kemari ? ( Ahmad membisu ) Jawab Ahmad ! Hanya itu satu – satunya yang ingin kutanyakan. Aku tidak ingin menanyakan dan mendengar apa yang kau perbuat. Aku tidak ingin menanyakan berapa jumlah prajuritku yang gugur terjebak oleh tipu dayamu … Jawab Ahmad !
AHMAD
( Senyum cuek ) Tidakkah kau ketahui, anak dan orangtuanya terjalin ikatan yang tak terputuskan …
MARYOSO
Jangan coba mengelak Ahmad !
AHMAD
( Menegaskan suaranya ) Aku ini ingin menjumpai ayah dan adikku Julaiha.
MARYOSO
Tahukah kau dimana tempatnya ?
AHMAD
Tidak !
MARYOSO
Darimana kau tahu bahwa adik dan ayahmu berada disini ?
AHMAD
Dari orang yang pernah tiba kemari.
MARYOSO
Hmmm… sebelum kau tertangkap, kau sudah kurang lebih tiga kali berkeliaran di kawasan ini bukan ?
AHMAD
Tidak ! Tepat waktu itu saya terus ditangkap.
MARYOSO
Jangan bahongi aku, Ahmad.
MARYOSO
Dimana kau ditangkap ?
AHMAD
Ditengah – tengah bulak.
MARYOSO
Mengapa kau disana ?
AHMAD
Aku sedang melepaskan lelah.
MARYOSO
Melepaskan lelah ditengah – tengah bulak. Haa… Haa… Haa…
AHMAD
Aku tersesat, saya belum pernah memasuki kawasan ini.
MARYOSO
Waktu itu pesawat capung melayang – layang di tengah-tengah bulak, bukan ?
AHMAD
Itu hanya kebetulan saja.
MARYOSO
Apakah kau tidak takut ditembak dari atas Ahmad ?
AHMAD
Aku takut juga.
MARYOSO
Mengapa kau tak segera berlindung ?
AHMAD
AKu berlindung juga. Aku rapatkan diriku rapat – rapat ke tanah.
MARYOSO
( mengambil sebuah cermin di atas meja ) Ahmad ! Ini cerminmu bukan ?
AHMAD
( Gugup sejurus ) Ya …
MARYOSO
Oh, kau pesolek juga rupanya … Apa gunanya cermin ini ?
AHMAD
Untuk mengaca.
MARYOSO
AHMAD
Hilang.
MARYOSO
( Menatap hening ) Ahmad mengapa kau bohongi saya ? Baiklah, kau takut pesawat capung itu menembakmu bukan ?
AHMAD
( Sadar masuk perangkap ) Maksudku, saya tidak begitu takut.
MARYOSO
Mengapa ?
AHMAD
Karena … alasannya …
MARYOSO
Karena apa ?
AHMAD
Karena hanya pesawat capung.
MARYOSO
Tapi kau tiarap juga bukan ?
AHMAD
( Tidak segera menyahut ) Ya …
MARYOSO
Makara kau keluarkan cermin itu, barangkali kau pikir waktu itu kesempatan yang baik, untuk melihat mukamu kena debu atau tidak. Kemudian orang melihat pantulan cerminmu bermain kekiri dan kekanan bukan ? ( Ahmad membisu ) Mengapa begitu Ahmad ?
AHMAD
Aku tidak tahu.
MARYOSO
( Gemas sekali, membentak dengan keras )
Dusta … dusta kau !
AHMAD
Akhirnya kau tahu juga saya berdusta …
MARYOSO
( Merendah kembali ) Mengapa kau dustai aku, Ahmad ?
AHMAD
Karena saya bahagia berbuat begitu.
MARYOSO
Kau hewan yang tak perlu diberi ampun. Bukankah kau yang mengkremasi pesantren ayahmu ?
AHMAD
Tidak ! Aku tidak membakarnya.
MARYOSO
Kau tidak membakarnya, tapi kau biang keladi yang menjadikan pesantren itu terbakar. Pesantren yang mewarisi tradisi turun temurun. Mulai dari buyutmu, kakekmu, sampai ayahmu. Pesantren tempat ayahmu menempa pemuda-pemuda yang bertanggung jawab aka masa depan agama, bangsa dan tanah air. Ahmad, kau tidak meratapi semua itu ? ( Tarik nafas ) Akh … Ahmad, apakah kau tidak takut akan siksa Tuhanmu ? Dimana kelak dosamu akan mengkremasi dirimu sendiri.
AHMAD
Itu tanggunganku sendiri.
MARYOSO
Jiwa yang tak lebih berharga dari seekor anjing. Berqpa banyak air mata yang dicucurkan para ibu untuk murid ayahmu yang hangus terbakar bersama pesantren yang dicintainya, Ahmad.
AHMAD
( Tegas ) Tapi siapa yang suka mencucurkan air mata untuk rubuhnya badan ibu sendiri ? Siapa yang suka bertanya, akan kutuntut final hidup ini, siapa yang akan membalas dendamnya.
MARYOSO
Diam kau. ( Ahmad menundukkan kepalanya ) Angkat mukamu penghianat. Pandanglah saya untuk yang penghabisan kalinya. Karena malam ini juga rakyat menuntut darahmu.
AHMAD
Aku tidak suka memandang muka seorang pembunuh.
MARYOSO
( Tersentak sejurus ) Angkat mukamu pengecut !
AHMAD
( Mengangkat muka perlahan ) Aku telah mengangkat mukaku, Maryoso. Aku telah mengangkat mukaku menyerupai dahulu, tatkala saya mendengar serentetan tembakan maka rubuhlah ibuku … mati, saya telah mengangkat mukaku.
MARYOSO
( Telah berpikir dalam ) Untuk penghabisan kalinya kenanglah kawanmu. Kenanglah mereka tatkala mereka mengangkat tangan mereka dengan tenaga penghabisan, dan menyeru kata merdeka, dan mereka tak kuasa lagi untuk mengepal tinjunya, mereka roboh berlumuran darah. Kenanglah api yang telah memusnahkan mereka. ( Ucapan ini mensugesti Ahmad, sehingga ia tertunduk merenung ).
AHMAD
Aku kenang itu. Aku kenang mereka mengerang kemudian mati … Akh, kemudian letusan dahsyat … dan saya terlempar … saya lihat … ayahku …, ayahku terbungkuk-bungkuk berlari bersama Julaiha, saya menyeru, tapi suaraku tak terdengar, kemudian saya hanya mendengar syahid ia … anak-anakku … Kemudian fajar yang merah kelabu, saya terbaring direrumputan . Air mataku telah kering tapi saya angkat tanganku … Oh ayah, ampunilah aku. Aku lihat bayangan terperinci yang kian terang, saya lihat … Siapa yang akan menuntut kematiannya. ( Menggigil tanganya gemetar ) Maryoso …
MARYOSO
( Memanggil Sersan ) Sersan !
Sersan menghadap Maryoso, Maryoso tertegun dan bunyi penyanyi itu semakin keras dari dalam penjara.
MARYOSO
Bawa beliau kedalam !
AHMAD
( Tergagap-gagap ) Maryoso … engkaulah … ( Ahmad tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Sersan telah membawanya )
Bersambung ….